back to top
Kamis, November 6, 2025
BerandaOpiniFeodalisme di Pesantren: Bayangan Lama di Lembaga Pendidikan Agama

Feodalisme di Pesantren: Bayangan Lama di Lembaga Pendidikan Agama

Aldi Rahmawan

Feodalisme di Pesantren: Bayangan Lama di Lembaga Pendidikan Agama
Ketika penghormatan berubah menjadi ketundukan, dan tradisi menutupi ruang keadilan di lembaga keagamaan.

“Feodalisme di pesantren bukan tentang sopan santun, melainkan tentang relasi kekuasaan yang membungkam partisipasi dan kebebasan berpikir santri.”

Pesantren dan Bayang-Bayang Hierarki
Pondok pesantren telah lama menjadi benteng pendidikan Islam di Indonesia — tempat pembentukan moral, spiritual, dan sosial yang mengakar kuat di masyarakat. Namun di tengah kemuliaan itu, ada sisi lain yang jarang disorot: budaya feodalisme yang masih bertahan di sejumlah pesantren, termasuk di wilayah Kabupaten Tangerang.
Beberapa pondok masih menjalankan sistem yang sangat hierarkis. Kiai ditempatkan sebagai sosok absolut, sementara santri menjadi subjek patuh tanpa ruang untuk bertanya atau mengkritik. Dalam situasi seperti itu, pesantren kehilangan salah satu nilai luhur pendidikan: ruang dialog yang sehat antara guru dan murid.

Pengabdian yang Tak Selalu Dimaknai Adil
Dalam tradisi pesantren, membantu kiai dan pondok merupakan bagian dari adab dan latihan spiritual. Santri membersihkan lingkungan, mengurus dapur, hingga ikut membangun fasilitas pondok dengan penuh keikhlasan.
Namun ketika pengabdian tersebut dijalankan tanpa batas yang jelas dan tanpa penghargaan yang seimbang, ia dapat berubah menjadi bentuk eksploitasi terselubung.
Tidak sedikit santri yang menanggung beban fisik berat atas nama “keberkahan”, padahal sistem seperti itu bisa memperkuat ketimpangan dan relasi kuasa yang timpang di antara penghuni pesantren.

Antara Adab dan Feodalisme
Penghormatan terhadap kiai adalah bagian dari adab Islam — sesuatu yang tidak salah dan justru mulia. Tetapi ketika penghormatan itu berkembang menjadi ketundukan tanpa kritik, maka nilai-nilai luhur tersebut mulai kehilangan makna.
Feodalisme di pesantren bukan sekadar soal tata krama, tetapi struktur kekuasaan yang menutup ruang bagi santri untuk berpartisipasi, berpikir, dan menyampaikan gagasan.
Tradisi seharusnya menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan, bukan tembok yang mengekang kebebasan intelektual generasi muda pesantren.

Dampak yang Tak Bisa Diabaikan
Jika sistem yang cenderung feodal terus dibiarkan, pesantren berisiko kehilangan relevansinya di era modern.
* Pertama, potensi penyalahgunaan kekuasaan bisa meningkat ketika tidak ada mekanisme pengawasan terhadap pengelola.
* Kedua, pola pendidikan yang hanya menekankan kepatuhan berpotensi mematikan daya kritis dan inovasi santri.
* Ketiga, dalam jangka panjang, pesantren bisa dipersepsikan publik sebagai lembaga yang tertutup dan tidak adaptif terhadap perubahan sosial.
* Keempat, semakin banyak kasus pelecehan dan kekerasan di lingkungan pondok pesantren.

Reformasi Kultural di Kabupaten Tangerang
Reformasi di pesantren bukan berarti menolak tradisi, melainkan menata ulang relasi kekuasaan agar lebih adil dan manusiawi. Pemerintah daerah dapat berperan aktif melalui regulasi perlindungan santri, peningkatan transparansi pengelolaan pondok, dan penyediaan mekanisme pengaduan yang aman.
Sementara itu, pesantren sendiri perlu berani beradaptasi. Melibatkan santri dalam musyawarah internal, memberikan pelatihan kepemimpinan, dan menerapkan sistem manajemen yang profesional tanpa menghapus nilai-nilai keagamaan adalah langkah yang bisa ditempuh untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang sehat dan berkeadilan.

Menjaga Tradisi, Merawat Keadilan
Pondok pesantren adalah warisan kebudayaan dan keilmuan Islam yang berharga. Tetapi warisan itu akan kehilangan maknanya jika tidak dibarengi dengan kesadaran kritis terhadap keadilan dan kemanusiaan.
Feodalisme di pesantren lahir bukan karena keburukan niat, melainkan karena pola lama yang belum sepenuhnya dikaji ulang. Kini saatnya pesantren menjadi ruang pembelajaran yang tidak hanya menumbuhkan iman dan adab, tetapi juga keadilan, kesetaraan, dan keberanian berpikir.
Kabupaten Tangerang, dengan ratusan pesantren yang tumbuh pesat, memiliki peluang besar untuk menjadi pelopor perubahan itu — menunjukkan bahwa tradisi dan modernitas tidak perlu bertentangan, asalkan keduanya disatukan dalam semangat keadilan dan kasih sayang.

Penulis: Aldi Rahmawan

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -SPACE IKLAN

Most Popular

Recent Comments