Site icon newstangerang.id

Hari Desa Nasional tidak sekedar ajang Narasi,
tapi ajang Refleksi dan Evaluasi.

Penulis: Suryadi*

10 Tahun yang lalu, pada tanggal 15 Januari 2014 menjadi landasan historis dari peringatan Hari Desa Nasional yang di peringati pertama kali pada tahun ini. Yaitu, lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

15 Januari 2025, menjadi peringatan perdana Hari Desa Nasional dengan bertemakan “Bangun Desa, Bangun Indonesia”. Setelah diterbitkannya Keputusan Presiden nomor 23 tahun 2024 yang mengatur adanya peringatan Hari Desa Nasional itu.

Dalam Salinan Keppres tersebut, menjelaskan tentang hal-hal yang menjadi pertimbangan penetapan adanya hari peringatan desa.

Kedudukan dan Peran Desa

Disebutkan “Bahwa kedudukan desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan yang langsung melayani masyarakat, sehingga memiliki peran penting dalam pemerataan kesejahteraan dan memperkokoh bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia”, isi Kepres no 23 Tahun 2024.

Sebagai unsur penyelenggara, dengan sejumlah dana dan program yang ada sekarang, baik program Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, pemerataan kesejahteraan masyarakat desa dapat terealisasi, tapi seringkali kurang tepat sasaran.

Penyebabnya tak lain adalah Conflict of interest dan sifat egosentris, lebih mementingkan kepentingan diri sendiri, keluarga dan kolega politiknya. Sehingga, terjadi kehilangan kepercayaan publik dan keterasingan sosial ditengah masyarakat yang menimbulkan sulitnya bekerja sama. Lantas, bagaimana dapat memperkokoh Bingkai Negara?

Desa sebagai Subjek Pembangunan

Hal lain yang menjadi pertimbangan penetapan Hari Desa Nasional adalah “Bahwa untuk memperkuat peran desa serta membangun pemahaman masyarakat dan seluruh pemangku kepentingan agar menjadikan desa sebagai subjek pembangunan, pemberdayaan masyarakat, pusat pertumbuhan dan kebudayaan daerah serta mempublikasikan kemajuan desa”, isi lainnya dari Keppers no 23 Tahun 2024.

UU Desa memuat regulasi yang merubah paradigma pada cara pandang desa: dari objek menjadi subjek pembangunan. Desa secara langsung memiliki kewenangan penuh mengelola pembangunan pada satuan pemerintahan ataupun masyarakat desa.

Sejauh pengamatan penulis, desa memang sebagai subjek dalam pembangunan, tetapi subjek pasif. Sebagai subjek, desa mesti menjadi subjek aktif (Pelaku aksi), maksudnya sebagai inisiator pembangunan. Dalam konteks “Desa Sebagai Subjek Pembangunan” Desalah yang menjadi pelopor, berinisiatif dalam hal membangun potensi desa tersebut. Karena tentu saja pemerintah desa itu sendiri yang lebih mengetahaui akan potensi yang dimiliki.

Peran otoritas pemerintahan yang lebih tinggi lebih kepada fasilitasi, supervisi dan pengembangan kapasitas desa. Sedangkan otoritas pada perencanaan dan implementasi benar-benar berada pada desa. Desa berperan sebagai aktor utama yang merencanakan, membiayai dan melaksanakan pembangunan. Pemerintah desa menjadi ujung depan penyelenggaraan pelayanan publik bagi warga, serta menjadi pusat pertumbuhan dan kebudayaan.

Pembangunan desa tidak melulu soal membangun dan merawat infrastruktur, dan infrastruktur bukan berarti kurang penting. Namun jangan sampai terfokus pada program fisik saja, ada hal lain yang tak kalah pentingnya seperti program pemberdayaan masyarakat, penanganan kemiskinan ekstrem, ketahanan pangan, hingga penurunan stunting.

Melalui momentum ini, penulis mengajak untuk merefleksikan peran penting desa baik dalam pemerataan kesejahteraan maupun pelayanan publik. Agar menghindari sikap-sikap yang dapat menimbulkan keterasingan sosial bahkan konflik yang diakibatkan hilangnya kepercayaan masyarakat.

Lain sisi juga sebagai evaluasi, mengenai posisi desa sebagai subjek dalam pembangunan, penulis mendorong desa sebagai subjek aktif, karena secara otoritatif Undang-Undang Desa memberikan kewenangan cukup besar pada desa untuk mengembangkannya secara kreatif dan mandiri.

*Ditulis oleh: Suryadi, merupakan kader Himatangbar

Exit mobile version